Pengantar Politik Hijau (Bagian 2)

Wahyu Eka Styawan
9 min readMar 26, 2021

--

Berangkat dari sebuah catatan kritis tentang Bumi yang sudah hampir mencapai batasnya sebagaimana diungkapkan oleh Club of Rome dalam kajian Meadows bersaudara tentang Limit to Growth pada tahun 1972. 10 tahun sebelumnya Rachel Carson bercerita tentang musim semi yang sunyi dalam bukunya Silen Spring, akibat industrialisasi pertanian, melalui praktik revolusi hijau sehingga mengakibatkan rusaknya biodiversitas dan menghancurkan rantai makanan. Sama dengan lahirnya catatan Club of Rome, pada tahun yang sama dunia menggelar konferensi lingkungan pertama di Stockholm, guna membahas persoalan lingkungan yang hancur lebur karena perang dan aneka eksploitasi lainnya. Berselang 20 tahun kemudian United Nation menggelar konferensi Rio De Janiero di Brazil untuk membahas persoalan degradasi lingkungan yang dipengaruhi oleh pembangunan. Dalam konferensi tersebut dunia mulai memikirkan bagaimana merancang ekonomi yang berkelanjutan, mendapat keuntungan dari ekonomi tetapi planet tetap lestari.

Namun, pasca aneka ragam konferensi yang digelar, munculnya kesepakatan-kesepakatan internasional, perbaikan atas nasib lingkungan dan kemanusiaan juga tak kunjung menemukan titik temunya. Malahan sampai pada detik ini tahun 2021, mulai dari Millenium Development Goals hingga bertransfromasi menjadi Sustainable Development Goals, pun tak ada pencapaian yang signifikan. Kecuali pencapaian eksploitasi masif di negara dunia ketiga atau Global South yang semakin mendegradasi lingkungan dan kemanusiaan.

Hal ini dapat dilihat dari catatan Adams, Stoller dan Adams (2019) yang mengatakan jika lebih dari setengah populasi dunia, kurang lebih 4 miliar orang mengalami kelangkaan air yang parah, setidaknya satu bulan per tahun. Sementara setengah miliar orang mengalami kelangkaan air yang parah sepanjang tahun. Negara-negara Global South merupakan wilayah yang sangat tidak aman air. Pertumbuhan kota dan perubahan demografis yang cepat, perubahan iklim, dan kegagalan tata kelola juga telah mendorong pertumbuhan dan perluasan permukiman informal perkotaan dan permukiman kumuh yang mana kemiskinan meluas, serta bahaya lingkungan akan memperburuk dampak kerawanan air terhadap kesehatan.

Kerentanan dan kemiskinan juga diakibatkan oleh hantaman Covid-19, merujuk rilis OXFAM pada 9 April 2020, yang mengatakan jika hampir separuh populasi dunia terimbas pandemi dan akan terjebak dalam jurang kemiskinan. Laporan OXFAM sebelumnya tahun 2016 dengan judul An Economy For the 1% telah mengungkapkan betapa ekonomi dunia, khususnya juga di Asia Tenggara, lebih khusus lagi Indonesia mengalam suatu ketimpangan ekonomi yang ekstrem. Bayangkan satu persen populasi menguasa hampir mayoritas sektor ekonomi, tentunya juga mereka sangat berkuasa atas lingkungan hidup. Karena beberapa dari mereka sangat bergantung pada industri ekstraktif, bisnis penghancuran hutan dan aneka eksploitasi lainnya. Ketimpangan ekstreem ini paling tidak diakibatkan oleh eksploitasi kapitalisme terhadap sosial ekonomi.

Marx dalam metabolisme alam sebagaimana diterjemahkan ulang oleh Foster (2000) telah mengatakan, jika produksi kapitalis sangat erat dengan alam untuk bahan mentah. Praktik mereka akan yang eksploitatif akan menyebabkan retaknya kemampuan alam untuk pulih, selain juga melakukan eksploitasi kepada manusia melalui surplus value hingga faktor hegemonik seperti alienasi sosial yang mengakibatkan pekerja tercerabut dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, lingkungan dan ekonomi merupakan rerantai yang interseksional, mereka mempengaruhi satu sama lain.

Pada konteks inilah kita melihat betapa ketidakadilan lingkungan, merupakan implikasi dari perampasan ruang-ruang kehidupan masyarakat, selain mereka mengeksploitasi alam, tak luput manusia juga menjadi objek eksploitasi. Tak heran jika separuh populasi dunia, khususnya negara Global South adalah wilayah yang paling rentan. Pertama rentan miskin, kedua rentan mengalami penurunan kesehatan, ketiga rentan mengalami gangguan kesehatan mental dan terakhir rentan pada keberlanjutan hidupnya. Sehingga problem lingkungan tidak bisa dilepaskan dari interelasi internasional, khususnya yang berkaitan dengan trajektori ekonomi global.

Kapitalisme, imperialisme dan neoliberalisme adalah praktik nyata betapa dominasi atas manusia dan alam adalah keniscayaan, jika merujuk pada isme-isme tersebut. Jauh pada tahun 2007, Naomi Klein dalam Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism telah menjelaskan apa itu ketimpangan, apa itu eksploitasi dan apa itu bencana kapitalisme yang menghinggapi negara-negara amerika latin, yang sebenarnya juga meluas hingga Africa dan Asia sebagai wilayah-wilayah yang terpapar kebuasan kapitalisme.

Sehingga apa yang dicatatkan oleh Rob Wallace dalam Big Farm Make Big Flu dan Dead Epidemiologists: On the Origins of COVID-19, telah menjadi catatan penting bahwa kapitalisme dan neoliberalisme telah memunculkan aneka virus, sebagai implikasi hancurnya ekosistem, rusaknya rantai makanan dan hilangnya metabolisme alam. Sehingga kita sekarang sedang menghadapi badai krisis multidimensi, ekonomi, kesehatan dan lingkungan hidup.

Politik Hijau Berdiri di Atas Hukum Sosial Ekologis

Dari sini, dan dari bukti ilmiah tentang meningkatnya gangguan ekologis, saling ketergantungan berbagai masalah menjadi jelas. Ekonomi, pengeluaran militer, ketidaksetaraan dan ketimpangan, kerentanan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati, kesehatan mental, kejahatan, kemiskinan, dan sebagainya tidak dapat lagi diperlakukan sebagai masalah yang terpisah dan independen. Jika umat manusia ingin bertahan hidup, ia harus berjalan selaras dalam satu kerangka politik bersama yang didasarkan pada interaksi kompleks antara dirinya dan sesamanya. Inilah inti dari ekologi politis yang diterjemahkan dalam Politik Hijau. Politik Hijau bertujuan untuk merekonstruksi pola aktivitas dan hubungan manusia sehingga mereka menghormati dan menghargai sistem alam tempat mereka bergantung. Tujuan ini tidak dapat dicapai sampai kesetaraan dan keadilan sosial dijalin ke dalam tatanan masyarakat. Masyarakat yang adil lebih sehat, lebih bahagia dan lebih mungkin melakukan perubahan skala besar yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan.

Politik Hijau (Togerson, 1991) sendiri bertumpu pada sebuah kepercayaan, bahwa istem yang didasarkan pada ketidaksetaraan dan eksploitasi mengancam masa depan planet tempat kita bergantung, dan mendorong konsumerisme yang ceroboh dan merusak lingkungan. Dunia yang didasarkan pada kolektivitas dan demokrasi akan memprioritaskan banyak orang, bukan sedikit, dan tidak akan mempertaruhkan masa depan planet dengan kerusakan lingkungan dan konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai kekuatan yang mendorong eksploitasi berlebihan Bumi harus berhenti menjadi tujuan otomatis masyarakat manusia. Kita seharusnya bertujuan untuk mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan, yang meningkatkan kesejahteraan yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan daripada konsumerisme. Pengukuran tradisional dari aktivitas ekonomi, seperti PDB, harus diganti dengan indikator baru yang mengukur kemajuan menuju tujuan ini.

Politik Hijau melampaui politik mainstream yang memisahkan manusia dari alam dan individu dari masyarakat (Capra & Spretnak, Maret 1984). Penolakan cara memandang dunia dengan cara eksploitatif dan ekonomistik adalah fundamental bagi filosofi Politik Hijau. Secara praktik filosofi politik hijau akan mencari ketersalingtergantungan yang sehat dari individu, alam, dan masyarakat. Sebab, sebagai manusia, kita semua memiliki potensi untuk hidup secara kooperatif dan harmonis satu sama lain, memiliki rasa hormat serta menghormati jaringan kehidupan kompleks yakni ekosistem, sebuah wilayah biofisik tempat di mana kita menjadi bagiannya. Namun jelasnya, bahwa potensi ini tidak dapat direalisasikan saat kondisi berkontradiksi pelik, saat kebutuhan dasar manusia sebagian besar masih belum terpenuhi.

Kebutuhan dasar di sini tidak hanya kebutuhan fisiologis makanan, air, udara, tempat tinggal dan tidur, tetapi juga kebutuhan psikologis. Ini termasuk kebutuhan akan cinta, rasa hormat, otonomi, keamanan, dan aktivitas yang berarti dalam komunitas kita. Beragam dan banyaknya kebutuhan dasar masyarakat yang tidak terpenuhi memiliki konsekuensi yang luas. Hal ini diekspresikan sebagai kecemasan, ketidakamanan, dan perilaku agresif terhadap orang lain, dan eksploitasi terhadap lingkungannya. Faktor personal ini memunculkan dan kemudian dilanggengkan oleh, institusi sosial yang secara aktif mendorong penindasan, polusi, penipisan sumber daya, kemiskinan dan konflik militer.

Empat Hukum Ekologi Barry Commoner Sebagai Pondasi Filosofi

Mengapa hukum ekologi yang dicetuskan Barry Commoner sebagai filosofi, karena apa yang diungkapkan oleh Barry merupakan yang cukup relevan dalam membangun kerangka fundamental atas perumusan filosofi kebijakan ke depannya. Sebuah rancangan yang akan diambil dalam penentuan, pengaturan dan perancangan kebijakan serta regulasi. Dan, menjadi nilai yang diinternalisasi kemudian menjadi manifestasi yang kokoh, mengenai pijakan Politik Hijau yang bersumbu dari pemikiran sosial ekologis dan ekologi politis. Ada empat hukum yang dicetuskan Commoner dalam bukunya Closing Circle yang pertama kali terbit tahun 1971. Dalam buku itu mengantarkan sebuah proposisi bahwa lingkungan biofisik dan sosial harus memiliki ketersambungan, sebuah interelasi dan interseksional yang akan menjadi kerangka logis tentang ke mana arah Politik Hijau aplikatif berlabuh.

Sebagai catatan, Commoner pun menyarankan sayap kiri, ekososialis untuk merespons terhadap batas-batas tesis pertumbuhan, mendalilkan bahwa teknologi kapitalis terutama yang bertanggung jawab atas degradasi lingkungan, sebagai lawan dari tekanan populasi. Persoalan degradasi lingkungan dan kiamat-kiamat kecil di Bumi, bukan sebab dari kelebihan penduduk sebagai sumber masalah utama, dan bahwa solusi yang mainstream dan usang yang diusulkan secara politis seperti pengendalian penduduk dan aneka hipokrisi lainnya menjadi sangat kontradiktif dengan penyebab utama kehancuran lingkungan, kemiskinan dan ketidakadilan adalah ketimpangan itu sendiri yang diakselerasi oleh kapitalisme dan neoliberalisme. Menghilangkan ketimpangan, membangun usaha untuk menuju transformasi sosial dan merancang ulang tatanan secara bertahap, adalah bentuk transformasi progresif dalam daya dan upaya menuju sosialisme dan apa yang kita sebut kesejahteraan. Berikut empat hukum ekologi yang akan mendasari filosofi politik hijau yang menjadi pokok dalam buku Closing Circle (2020):

A. Hukum pertama everything is connected to everything else, segala sesuatu itu terhubung dengan yang lainnya. Commoner mengatakan sebagai simple fact about ecosystem atau fakta sederhana tentang ekosistem. Bahwa semua ekosistem yang sehat saling berhubungan dan menstabilkan diri. Jika ada bagian dari ekosistem alami yang rusak atau tertekan, hal itu dapat memicu masalah yang jauh lebih luas. Misalnya, pembakaran bahan bakar fosil membebani siklus karbon global secara berlebihan, yang pada gilirannya memicu perubahan progresif pada iklim, lapisan es global, pola cuaca, pengasaman laut, hasil pertanian, permukaan laut, anggaran pemerintah, dan angka pengungsi di seluruh dunia. Setiap masyarakat yang mengabaikan hukum pertama bahwa segala sesuatu terhubung dengan yang lain, ke depan akan mengundang kekacauan sosial dan ekologis.

B. Hukum kedua everything must go somewhere, salah satu alasan utama krisis lingkungan saat ini adalah adanya sejumlah besar material yang telah diekstraksi dari Bumi, diubah menjadi bentuk baru, dan dibuang ke lingkungan tanpa memperhitungkan dampaknya, bahwa semuanya harus pergi ke suatu tempat. Akibatnya, terlalu sering material diekstraksi akan memunculkan beban, sebagai implikasi dari akumulasi jumlah materi yang berbahaya di tempat-tempat yang terpapar di alam, yang bukan bagian atau milik alam itu sendiri.

C. Hukum ekologi ketiga, nature knows the best atau alam tahu yang terbaik, bukanlah sebuah romantisme hijau yang naif, tetapi merupakan sebuah penolakan terhadap apa yang disebut sebagai salah satu fitur paling luas dari teknologi modern yang turut menyumbang retakan metabolisme dan siklus alam. Gagasan ini dimaksudkan menjadi ide untuk memperbaiki alam. Commoner pun dengan terus terang mengatakan, bahwa hukum ekologi ketiga mengisyaratkan setiap perubahan besar yang dilakukan manusia dalam sistem alam kemungkinan besar akan merusak sistem itu. Maka harus direkonstruksi ulang semua sistem yang ada kini.

D. Hukum keempat, there is no such thing as a free lunch atau tidak ada yang namanya makan siang gratis. Dalam perspektif ekologi, seperti dalam perspektif ekonomi, bahwa hukum tersebut dimaksudkan untuk memperingatkan bahwa setiap keuntungan yang diambil dari alam dengan biaya tertentu. Di satu sisi, hukum ekologi keempat ini mewujudkan tiga hukum sebelumnya. Karena ekosistem global adalah satu kesatuan yang terhubung, di mana tidak ada yang bisa diperoleh atau hilang dan yang tidak tunduk pada perbaikan keseluruhan, apa pun yang diambil darinya oleh upaya manusia harus diganti. Pembayaran harga ini tidak dapat dihindari, itu hanya bisa ditunda. Krisis lingkungan saat ini adalah peringatan bahwa kita telah menunda hampir terlalu lama dan bahkan melanggar kesepakatan tersebut. Maka apa yang kita ambil dari alam pun juga membutuhkan biaya tertentu, bukan dalam nominal sebagaimana pandangan developmentalis yang melihat kerusakan alam sebagai uang semata, sebagai contoh carbon trade atau pollution tax, tetapi lebih ke tanggung jawab dalam pemanfaatan. Apa yang kita manfaatkan harus dapat diukur dan bagaimana menjaga ekosistem agar tidak hancur.

Sumber daya fisik bumi sangatlah terbatas, dan aneka eksploitasi telah mengancam masa depan kita umat manusia, dan jika kita mencoba untuk hidup di luar kemampuan tersebut, maka sama saja dengan menantang hukum alam, serta sudah siap binasa oleh amukan alam. Kita harus membangun masyarakat yang berkelanjutan yang menjamin masa depan jangka panjang kami. Sebab setiap orang di generasi ini dan yang akan datang, harus berhak atas kebelanjutan dari bumi ini. Tindakan kita sekarang harus mempertimbangkan manusia lain, spesies lain, dan generasi mendatang. Kita seharusnya tidak mengejar kesejahteraan sampai merugikan mereka, bahkan kita sendiri. Dalam hal ini Commoner pun dalam Closing Circle (2020) tegas mengatakan:

Kita berada dalam krisis lingkungan karena cara kita menggunakan ekosfer untuk menghasilkan kekayaan telah merusak ekosfer itu sendiri. Sistem produksi saat ini merusak diri sendiri, lalu arah peradaban manusia saat ini adalah wujud dari bunuh diri.”

Pengejahwantahan Politik Hijau yang didasarkan empat hukum ekologi ini, mengusung pengarustutamaan keberlanjutan dan penyelamatan bumi. Karena untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan sehat harus didasarkan pada kerjasama sukarela antara individu dengan individu lainnya yang berdaya dalam masyarakat demokratis, bebas dari diskriminasi baik berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, asal-usul sosial atau prasangka lainnya. Politik Hijau menekankan partisipasi langsung yang demokratis dan akuntabilitas dengan memastikan bahwa keputusan diambil pada tingkat praktis yang paling dekat dengan mereka yang terkena dampaknya.

Referensi:

Adams, E. A., Stoler, J., & Adams, Y. (2020). Water insecurity and urban poverty in the Global South: Implications for health and human biology. American Journal of Human Biology, 32(1), e23368.

Capra, F., & Spretnak, C. (1984, July). Green politics. In National Forum (Vol. 64, №3, p. 21). Honor Society of Phi Kappa Phi.

Commoner, B. (2020). The closing circle: nature, man, and technology. Courier Dover Publications Hardoon, D., Fuentes-Nieva, R., & Ayele, S. (2016). An Economy for the 1%: How privilege and power in the economy drive extreme inequality and how this can be stopped. Oxfam International.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. NYU Press.

Klein, N., & Smith, N. (2008). The shock doctrine: a discussion. Environment and Planning D: Society and Space, 26(4), 582–595.

Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York, 102(1972), 27.

Oxfam. (9 April 2020). Pers Release: Half a billion people could be pushed into poverty by coronavirus, warns Oxfam. Diakses dari: https://www.oxfam.org/en/press-releases/half-billion-people-could-be-pushed-poverty-coronavirus-warns-oxfam

Torgerson, D. (1999). The promise of green politics: Environmentalism and the public sphere. Duke University Press.

Sumber Rujukan lain:

The Green Party UK. The Green Party’s Core Values. Diakses dari https://policy.greenparty.org.uk/

--

--

Wahyu Eka Styawan
Wahyu Eka Styawan

No responses yet