Pengantar Politik Hijau (Bagian 1)

Wahyu Eka Styawan
6 min readMar 13, 2021

--

Forward Together for a better life

Apa itu politik hijau? Tentu dari kita bertanya-tanya demikian, politik hijau apa ada hubungannya dengan agama yang identik hijau? Atau partai kanan di Indonesia yang berwarna hijau, tidak sama sekali tidak memiliki hubungan yang koheren.

Politik hijau merupakan pemikiran ekologis (relasi biotik dan abiotik dalam suatu ruang (ekosistem)) dapat dipahami dengan sangat sempit, dan cukup luas, bahkan dalam manifestasi politiknya. Seperti ideologi dan perspektif politik lainnya, ia memiliki banyak hal untuk dikatakan pada seluruh masalah yang dihadapi masyarakat dan meskipun ada unsur feminisme, sosialisme, pasifisme dan anarkisme dalam teori politik hijau, ia memiliki identitas dan warisan intelektualnya sendiri.

Ia berangkat dari serangkaian kritik, visi, dan strategi yang koheren untuk dicapainya dalam spektrum politik lokal maupun global. Terlepas dari beberapa domain inti konsensus di mana sebagian besar Partai Hijau akan berkumpul, ada spektrum posisional yang luas berada di bawah payung luas politik hijau dan banyak ketegangan serta ruang perselisihan di antara mereka. Istilah ini mencakup spektrum perspektif yang terkadang bersaing atas nilai, politik, dan strategi. Di sini kami akan mengenalkan tentang apa itu yang disebut politik hijau dalam kerangka kiri baru.

Term politik hijau awal mula digunakan sebagai adagium yang punya relasi dengan die Grünen (Hijau/Green), sebuah partai hijau yang dibentuk pada akhir dekade 70-an (Burchell, 2002). Istilah ekologi politis kadang-kadang digunakan para akademis guna mewakili bidang studi interdisipliner yang menawarkan studi luas dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia mengintegrasikan ilmu sosial, ekologi dengan ekonomi politik dalam kerangka topik hijau nan progresif seperti degradasi dan marjinalisasi, konflik lingkungan, konservasi. kontrol, identitas lingkungan dan gerakan sosial (Robbins, 2012).

Politik hijau memiliki beragam ide khususnya terkait gerakan konservasi, lingkungan, feminis dan perdamaian. Selain masalah demokrasi dan ekologi, politik hijau sangat berupaya mengarusutamakan hal yang berkaitan dengan kebebasan sipil, keadilan sosial, non-kekerasan, terkadang juga varian dari ide-ide sosial dan ada kecenderungan ke arah yang dinamakan progresivisme. Politik hijau seringkali dikaitkan dengan platform partai hijau, yang oleh sebagian besar akademisi dan praktisi dianggap tertinggal dalam spektrum politik (Mulvaney, 2011).

Tapi ideologi hijau justru memiliki hubungan erat berbagai ideologi politik yang cenderung ekosentris, salah satunya interseksi dengan feminisme telah melahirkan ide ekofeminisme. Jika dengan marxisme melahirkan ekososialisme dan terakhir ada pula anarkisme hijau yang idenya dipengaruhi pemikir-pemikir anarkis. Tetapi tinggal sejauh mana kita dapat memandang hal ini sebagai bentuk politik hijau yang masih menjadi bahan perdebatan luas. Seiring sewaktu mulai mekarnya filosofi politik hijau dengan varian kirinya, munculah gerakan terpisah yang tidak terkait dan gerakan yang kontras dengan kiri, di mana mereka mantab berada di kutub sayap kanan yang mencakup komponen ekologi seperti eko-kapitalisme dan konservatisme hijau (Wall, 2010).

Politik Hijau dalam Kiri Baru

Source: GREEN POLITICS POSTER EXHIBIT from George Town Peabody Library

Kiri Baru awal mula muncul di Amerika Latin, sebuah kelompok yang berusaha melampaui upaya Marxis-Leninis yang berupaya untuk mengarusutamakan kesetaraan ekonomi dan demokrasi untuk memasukkan reformasi sosial dan menangani masalah-masalah unik di Amerika Latin, seperti kesetaraan ras dan etnis, hak-hak adat, hak-hak masyarakat. lingkungan, tuntutan untuk demokrasi radikal, solidaritas internasional, anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan tujuan lainnya (Icaza, 2008).

Keberadaan kiri Baru juga ditandai dengan penemuan gerakan lingkungan modern, yang berbenturan dengan pengabaian kelompok orthodoks terhadap lingkungan yang hanya berfokus pada peningkatan industri dan ekonomi nasional secara makro. Environmentalisme yang berbaur dengan pemikiran kiri seperti menggunakan pisau analisis marxisme, progresivisme hingga teori tindakan a la anarkisme juga telah memunculkan berbagai gerakan keadilan sosial lainnya seperti gerakan keadilan lingkungan (Kauffman, 2016), yang bertujuan untuk mencegah toksifikasi lingkungan pada mereka masyarakat minoritas dan tertinggal, seperti kelompok buruh, buruh tani, tani kecil, adat, buruh nelayan, nelayan tradisional dan kaum miskin kota, khususnya kuasa patriarki yang semakin keras dalam mengopresi perempuan.

Secara singkat kiri baru ini sangat berasosiasi dengan ekososialisme, sebuah ide yang menggabungkan aspek sosialisme dengan politik hijau, ekologi dan bentuk kritik atas modernisme, perubahan-globalisasi atau anti-globalisasi. Pendekatan ini percaya bahwa perluasan sistem kapitalis merupakan penyebab utama peminggiran, pengucilan sosial, kemiskinan, perang dan degradasi lingkungan melalui globalisasi dan imperialisme, di bawah pengawasan negara-negara yang represif dan struktur transnasional. Pandangan kiri baru dengan paradigma ekososialisme menganjurkan pembongkaran kapitalisme, dengan fokus pada kepemilikan bersama atas alat produksi oleh produsen yang berasosiasi secara bebas, dan memulihkan milik bersama (Lowy & Kovel, 2002).

Ekspansi kapitalis yang berbaur dengan elitisme telah menyebabkan “krisis ekologis” melalui “industrialisasi dan ekspansi industri yang merajalela” telah mengakibatkan perampasan ruang hidup, terhambatnya pangan, ancaman bencana ekologis yang semakin mengakselerasi kehancuran sosial. Konteks ini muncul sebagai dari dampak imperialisme yang dikenal sebagai globalisasi dan modernisasi yang secara kaku dapat diterjemahkan determinasi dari neoliberalisme.

Semua itu merupakan implikasi dari kapitalisme yang mengekspos ekosistem ke polutan, perusakan habitat, dan penipisan sumber daya. Mereka telah menyebabkan retakan metabolis hingga mengurangi vitalitas sensual alam menjadi pertukaran dingin yang hanya diperlukan untuk akumulasi modal, sambil menenggelamkan mayoritas penduduk dunia ke ruang hampa krisis , di mana banyaknya cadangan tenaga kerja, perubahan budaya dan kehilangan relasi dengan alam, karena menembus masyarakat melalui konsumerisme dan depolitisasi, sebagai wujud proyek hegemoni kapitalisme.

Sejalan dengan itu Wall (Wall, 2005) menyoroti bagaimana neoliberalisme di negara selatan telah menyusun ekonomi untuk menghasilkan tanaman yang disesuaikan dengan ekspor yang mengambil air dari pertanian subsisten tradisional, meningkatkan kelaparan dan kemungkinan kelaparan. Selain itu, hutan semakin banyak dibuka dan ditutup untuk menghasilkan tanaman komersial yang memisahkan masyarakat dari alat produksi lokal dan memperburuk kemiskinan, kita bahkan disuguhkan oleh penyingkiran masyarakat adat seperti suku Tzotzil, Tzeltal, Chol, Zoque, Tojolabal, Kanjobal dll, di negara bagian Chiapas, Mexico atau Dayak di Kalimantan.

Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa banyak orang miskin di dunia yang memiliki akses ke alat produksi melalui alat produksi komunal yang tidak menghasilkan uang, seperti pertanian subsisten, meskipun memenuhi kebutuhan dan tingkat kemakmuran, ini tidak masuk dalam kerangka umum para akademisi pembangunanisme dan penilaian dari para ekonom konservatif yang lekat dengan ide negara pusat serta institusi hegemoniknya yakni “kapitalisme dan imperialisme,” sejalan dengan ide Samir Amin tentang Dependency Theory dalam Unequal Development.

Wall (Wall, 2005) pun melihat globalisasi neoliberal sebagai bagian inri dari perjuangan panjang negara dan kepentingan komersial untuk mencuri dari mereka yang hidup dengan menghapus akses ke sumber daya yang menopang kehidupan semua insan di seluruh dunia”. Lalu, Lowy dan Kovel (Lowy & Kovel, 2002) melihat neoliberalisme dengan mengajak kita ke logika murni kapital (accumulation) yang secara efektif telah menyapu langkah-langkah yang menghambat agresivitas kapital, menggantikannya dengan eksploitasi telanjang atas kemanusiaan dan alam.

Penghancuran batas-batas akumulasi ini dikenal sebagai globalisasi yang merupakan tanggapan yang disengaja terhadap krisis akumulasi yang serius (1970-an) dengan meyakinkan para pemimpin ekonomi global untuk memasang apa yang kita kenal sebagai neoliberalisme. Sebagai ide politik yang telah mengakselerasi perampasan ruang hidup secara masif, memunculkan otoriterisme dan lebih jauh apa yang dinamakan sebagai opresi atas umat manusia, lebih luasnya bumi.

Nilai-nilai Politik Hijau

Source: Markus Spiske, Unsplash

Guna melawan, meregenerasi, merestorasi dan merehabilitasi bumi yang telah luluh lantah dicabik-cabik oleh eksploitasi kapitalisme, memunculkan otoriterisme, hingga perampasan secara banal hak-hak alam dan manusia. Di mana kita dipaksa menjadi mesin yang senantiasa menguntungkan segelintir orang, alam kita dirampas, rumah kita digusur, hak kita dikebiri, kita dipaksa bekerja untuk mereka dan dipaksa membeli produk mereka. Maka kapitalisme, imperialisme dan neoliberalisme adalah wujud dari otoriterisme itu sendiri yang bertolak belakang dengan keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan.

Nilai-nilai hijau yang diusung merupakan sebuah proses panjang dan telah melewati aneka perdebatan, praktik, kritik dan evaluasi. Hingga kini masih berjalan, melalui ruang dan waktu, karena merupakan cerminan dari dialektika materialimse historis. Di mana selalu ada perubahan dari bentuk lama ke baru, melalui serangkaian pengujian untuk menemukan bentuk yang sesuai berangkat dari pengalaman yang lalu, dari negasi ke negasi.

Nilai-nilai itulah yang akan dibahas dalam bagian ke dua pada pengantar ini yakni meliputi:

Demokrasi Akar Rumput

Keadilan Sosial

Keberlanjutan Berdasar Empat Hukum Ekologi

Non-kekerasan

Desentralisasi

Ekonomi Berbasis Komunitas

Diversitas dan Pluralisme

Keadilan Gender dan Nilai Pasca-Patriarki

Referensi

Burchell, J. (2002). The evolution of green politics: development and change within European Green Parties. Earthscan.

Icaza, R. (2010). The New Latin American Left. Utopia Reborn?. European Review of Latin American and Caribbean Studies, (88), 130–131.

Lowy, M., & Kovel, J. (2002). Ecosocialist manifesto. Capitalism Nature Socialism, 13(1).

Kaufman, C. (2016). Ideas for action: Relevant theory for radical change. Pm Press.

Mulvaney, D. (Ed.). (2010). Green politics: an A-to-Z guide. Sage Publications.

Robbins, P. (2011). Political ecology: A critical introduction (Vol. 16). John Wiley & Sons.

Wall, D. (2005). Babylon and Beyond The Economics of Anti-Capitalist, Anti-Globalist and Radical Green Movements. Pluto Press.

Wall, D. (2010). The no-nonsense guide to green politics. New internationalist.

--

--

Wahyu Eka Styawan
Wahyu Eka Styawan

No responses yet